Yang salah pelaku
pembunuhannya atau cerita fiksinya?
Sebagai penggemar
cerita fiksi, kita sering dapat pesan-pesan inspiratif dari novel atau film
yang saya simak. Beberapa cerita mengajarkan kita tentang arti kepahlawanan,
cinta, keluarga, atau pertemanan. Mungkin itulah tujuan penulis mengarang
cerita fiksi; untuk menginspirasi pembaca melalui perpaduan antara sudut
pandang tokoh fiktif dan pengalaman hidupnya.
Tapi apa jadinya
kalau cerita fiksi malah menginspirasi penikmatnya buat melakukan aksi
kriminal? Faktanya, beberapa kasus pembunuhan pernah terjadi akibat obsesi
manusia yang berlebihan terhadap cerita fiksi. Hmm… kira-kira kisah fiktif
seperti apa yang menginspirasi pelaku pembunuhan? Seperti apa kasusnya?
1.
Novel Catcher in the Rye (1951) dan Kasus Pembunuhan John Lennon
Novel
kontroversial karya J.D. Salinger ini mengisahkan perjalanan hidup seorang
remaja putus sekolah, Holden Caulfield. Sejak pertama kali diterbitkan, Catcher in the Rye langsung
menuai kesuksesan dan melejitkan nama penulisnya. Tapi sayangnya, selain populer,
novel ini juga jadi inspirasi beberapa pembacanya buat melakukan tindak
kriminal. Obsesi berlebihan akan isu pencarian jati diri dan kepalsuan manusia
(yang sangat berpengaruh) dalam cerita novel jadi penyebabnya.
Setelah keluar
dari rumah sakit jiwa, David Chapman mencoba menemukan jati dirinya lagi.
Kebetulan saat membaca Catcher
in the Rye, ia merasa ada kesamaan antara dirinya dengan tokoh
fiktif Holden Caulfield. Sebagai penggemar The Beatles, Chapman juga menemukan
ada kepalsuan pada diri John Lennon, terlebih setelah pentolan The Beatles itu
mengeluarkan pernyataan yang terkesan menghina agama.
8 Desember 1980
David Chapman pun menembak John Lennon empat kali di bagian punggung. Saat
ditangkap polisi, kabarnya Chapman sedang membaca Catcher in the Rye di pinggir
jalan, tak jauh dari TKP.
Di tahun 1989, pria asal Amerika, John Bardo
membunuh aktris Rebecca Schaeffer yang sudah diterornya selama tiga tahun.
Bardo membawa novel Catcher
in the Rye saat melakukan aksinya.
Tapi dia berdalih kalau itu hanya kebetulan dan menolak perbuatannya disamakan
dengan kasus David Chapman.
2.
Foundation Trilogy Menginspirasi Serangan Gas
Beracun di Jepang
Singkatnya,
trilogi fiksi ilmiah karya Isaac Asimov ini bercerita tentang keruntuhan
kerajaan galaksi karena populasi planet yang semakin tinggi. Salah satu tokoh
utamanya menganggap agama adalah jalan yang tepat untuk mengendalikan
masyarakat dan keutuhan dunia yang mereka huni.
Shoko Asahara,
pemimpin sekte agama Aum
Shinrinkyo di Jepang, percaya kalau karya Asimov bisa diterapkan di era
modern. Asahara kerap berceramah tentang dunia yang akan segera berakhir dan
hanya orang-orang beriman yang bakal selamat. Tapi saat hari kiamat yang
diramalkan tak kunjung datang, Asahara beserta pengikutnya melancarkan serangan
gas beracun pada 20 Maret 1995. Saat itu pengikut Aum Shinrinkyo melepaskan gas
sarin di stasiun bawah tanah Tokyo. Tragedi itu menewaskan 12 orang dan melukai
sekitar 5.000 penduduk Jepang.
3.
Gangster Grand Theft Auto
Di antara semua
seri Grand Theft Auto,
GTA III jadi
sekuel yang paling sukses memengaruhi pola pikir sekelompok berandalan di
Oakland, California. Yup, mereka mencoba mengangkat cerita GTA ke kehidupan
nyata secara harafiah.
The
Nut Cases, itulah nama kelompok gangster yang meneror Oakland antara akhir
tahun 2002 sampai awal 2003. Di rentang waktu tersebut, The Nut Cases membunuh
5 warga sipil, termasuk remaja 14 tahun dan temannya yang mencoba melindungi
bocah itu dari hunjaman peluru. The Nut Cases tak menampik adanya pengaruh
game GTA
di semua kekacauan yang mereka perbuat. Bahkan salah satu anggota gangster
dengan bangga bilang, “We play GTA during the day and live the life of GTA
at night.”
Enam anggota The Nut Cases akhirnya dinyatakan
bersalah oleh pengadilan dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Tapi
gangster tetaplah gangster. Salah satu terdakwa, Lon Wailey, berteriak pada
hakim, “I don’t care!” setelah menerima putusan hakim tersebut.
4.
The Collector (1963)
Menginspirasi para Psikopat
Secara garis
besar, novel The
Collector karangan John Fowles menceritakan Frederick Clegg, pria
pengidap asperger
syndrome (gangguan komunikasi) yang hobi mengoleksi kupu-kupu.
Kurangnya kemampuan bersosialisasi membuat sang protagonis tinggal di kabin di
tengah hutan. Tapi lama kelamaan, perasaan kesepian melanda Clegg, dan dia
memutuskan untuk menambah koleksi “kupu-kupunya”, seorang gadis bernama
Miranda.
Di kenyataan,
kisah The Collector bisa
kita temukan di beberapa kasus penculikan yang disertai pembunuhan. Christopher
Wilder, pembunuh berantai yang menghabisi nyawa delapan gadis di tahun 80-an, tercatat
memiliki novel The
Collector saat dia bunuh diri.
Robert Bardella, jagal asal Kansas, Amerika Serikat, menyiksa serta membunuh
enam laki-laki di tahun 1980. Ia mengklaim pembunuhannya terinspirasi dari film
The Collector.
Duo pembunuh
berantai Leonard Lake dan Charles Ng juga melancarkan aksi yang sama antara
tahun 1983-1985. Mereka tercatat menyiksa dan membunuh 11 orang. Perbuatan keji
itu dilakukan di dalam bunker dekat peternakan milik Leonard Lake. Sama dengan
dua kasus sebelumnya, Lake dan Ng terinspirasi dari kisah The Collector. Bahkan mereka dengan
sengaja menamai salah satu skema penculikan gadis dengan sebutan “Miranda
Operation.”
5.
Film Queen of the Damned (2002)
Menginspirasi Seseorang Menjadi Vampir
Queen of the
Damned (1988)
adalah judul novel terakhir dari trilogi The
Vampire Chronicles karangan Anne Rice. Di tahun 2002, novel vampir
itu diangkat jadi film dengan judul yang sama. Awalnya mungkin tak ada yang
menyangka kalau Queen
of the Damned bisa mendorong penontonnya bertindak layaknya vampir
sungguhan. Tapi kenyataan berkata lain.
Tak lama
setelah film itu dirilis, Allan Menzies membunuh Thomas, temannya sendiri. Pada
pihak berwenang Menzies menyatakan kalau perbuatannya itu ia lakukan atas
perintah Akasha (karakter utama di film Queen
of the Damned). Mezies berdalih kalau dirinya akan berubah jadi
vampir di kehidupan selanjutnya jika ia menuruti perintah Akasha.
Alasan
Menzies memang terkesan tak masuk akal. Tapi, kalau dilihat dari bagaimana ia
menghabisi nyawa Thomas, Menzies sepertinya serius dengan perkataanya itu.
Setelah menusuk Thomas hingga tewas, Menzies meminum darah dan memakan sebagian
kepala Thomas, sebelum ia mengubur jasadnya. Benar-benar perbuatan yang gila!
0 komentar:
Posting Komentar