Minggu, 22 September 2019

100% IQ LOVE

BY: Inihara

“Siapa yang memilih dan pada siapa ia dipilih. Siapa yang tahu menahu. Hanya hak logika dan perasaan beradu padu pada tiga kata: I Love You.”
Pintar, jenius, super cerdas, anak ajaib… Keseharianku tidak lepas dari pujian-pujian di sekelilingku. Keluarga, teman, guru, ibu kantin, anak ibu kantin, satpam sekolah bahkan preman pasar memujiku. Hanya permasalahan jalan pintas dan itupun hanya karena konsep Phytagoras, konsep matematika sederhana tetapi bisa membuat preman pasar jatuh hati padaku. Astaga jatuh hati, tentu tidak.

Pada intinya, semua orang memujiku. Oleh kepintaran yang hampir semua orang tak punya. Dengan ketebalan selubung mielin diatas normal. Volume otak yang menurut penelitian dokter punyaku lebih besar dari orang lain. Meskipun kutanyakan pada sekelilingku apakah kepalaku terlihat besar. Syukurnya tidak. Sepertinya kecerdasanku tidak hanya berpaku pada volume otak ataupun selubung mielin. Mungkin semua ini ada hubungannya dalam kebiasaanku selama ini. Belajar, belajar dan belajar.

Jujur saja, aku tak suka belajar. Aku benci belajar. Sampai-sampai orangtuaku dengan relanya memenuhi segala permintaanku supaya aku giat belajar. Tapi, usaha mereka sia-sia saja. Aku lebih suka menyibukkan diriku dengan mobil-mobilan tanpa ban, robot Ultraman yang masih hidup lampu tengahnya serta bermain dengan anak seumuranku. Tentu aku anak yang ‘dulunya’ banyak teman. Aktivitasku jika tidak bermain maka aku akan memilih menggambar. Ah, jangan tanya lagi tentang keahlianku. Karya-karyaku jelas tertempel di dinding-dinding rumah. Coretan anak umur 5 tahun mungkin akan berkesan jika dilihat kembali. Mungkin terkesan bandel.

Di pusat koridor, pada umumnya terdapat berita-berita terbaru. Sebut saja mading. Aku sendiri sering menjadi topik hangat di mading dengan prestasi yang sering kuraih. Juara Olimpiade Matematika Nasional, Math Challenge, Robotic Competition, Brain Development, Edison Skills Competition… aku sendiri lupa apa-apa saja. Dan seperti biasa diakhir semester ini, aku kembali menjadi topik hangat.

Segerombolan siswa di belakangku melintas. Sepertinya mereka menuju mading. Aku bisa saja ikut melakukan hal seperti mereka. Tapi, rasanya itu tak perlu. Dari tatapan siswa yang jalan berbalik arah dariku seolah memberikan tatapan, Hey, inilah sang Juara. Lagi-lagi, aku akan mendapatkan kata ‘selamat’ dari banyak orang. Orang-orang akan semakin memujiku. Tidak menutup kemungkinan untukku semakin bosan mendengar kalimat yang diulang-ulang itu. Bahkan pertanyaan yang awalnya seperti ini: Tolong ajarin dong, hingga menjadi: Nomor 1, 2, 3, 4, 5 hmm sampai 10 apa jawabannya? Jawabin dong! Tingkat grafik yang didapat tidak simetris dengan titik nol. Merupakan salah satu alibiku untuk menjauh dari dunia pertemanan. Lagipun aku tak punya waktu, lebih baik aku menghabiskan waktuku untuk menjawab soal Fisika tersulit yang pernah ada.

Senyuman dan anggukan tidak lepas dariku hari ini. Aku sering menyebutnya ‘Hari Selamat’ atau ‘Hari Kepalsuan’. Oke, mungkin itu lebih cocok menjadi Hari Kepalsuan. Aku seolah bahagia karena berhasil menjadi orang paling cerdas di sekolah ini. Dengan mengalahkan dia, yang mengaku cerdas juga dan itu benar faktanya. Dia yang jago fisika, satu passion denganku. Dia, atau hanya dia yang tidak mengucapkan selamat atau memujiku sedikitpun. Dibalik semua itu, putaran waktu 10 tahun silam akan mengatakan dialah yang membuat aku bisa secerdas ini.

Waktu itu seorang anak perempuan yang sangat cerdas mengejekku karena aku tak tau apa jawaban dari sebuah penjumlahan. Padahal itu bisa dijawab luar kepala. Tanpa memerlukan banyak tenaga untuk para akson mengalirkannya menuju otak. Seperti dugaanku, itu semua karena kebencianku pada belajar. Gara-gara kebencianku, aku menjadi bahan ejekan anak itu. Terus menjadi ejekan. Sejak hari itu, aku bertekad untuk terus belajar hingga tanpa sadar muncul rasa aneh yang aku sendiri tak tau apa itu. Dan setelah aku searching melalui wikipedia, ensiklopedia, bahkan aku pernah bertanya di brainly, anggap saja itu adalah hal bodoh yang terakhir kulakukan. Akhirnya aku menemukan jawaban. Entah itu bisa dibilang sebagai suatu reaksi atau teori atau hanya hasil bagi dari mengagumi dan perasaan tak menentu. Sungguh, aku suka padanya.

”Pak, izin keluar”. Segera aku diberikan izin dan langsung menuju tengah lapang. Mungkin sudah saatnya…

DUARRR!! DUARRR!!
Kurasa aku sudah berhasil membuat kehebohan di tengah sekolah. Aku berhasil merakit roket-roket yang dirancang khusus untuk penelitian pada atmosfer dan sekarang meluncur dengan mulus. Tentu tidak ada seorangpun sebelumku meluncurkan roket demi pencegahan emisi rumah kaca. Mereka termasuk guru bergerombolan ‘menyerbu’ku. Aku dihujani macam pertanyaan. Sampai akhirnya mereka ramai bertepuk tangan untukku. Dari sini, semakin banyak yang mengagumiku. Semakin banyak.

Aku sendiri tak henti membuat mataku mengitari orang-orang di sekitarku. Mungkin agak aneh atau aku salah lihat. Aku melihat ‘dia’ tersenyum saat itu, padaku? Hey! Dia tersenyum kepadaku. Eureka! Sepertinya peluang besar sudah menghampiriku. Meskipun dia tetap saja tak memujiku, aku tentu tau dari tatapan dan senyumannya. Ia sangat bangga padaku. Dari matanya, sepertinya sudah hilang gelar saingan padaku. Apakah ini peluang besar bagiku untuk mengungkapkan rasa sukaku? Tapi, tak mungkin sekarang karena beberapa anak menghampiriku dan mengemis untuk minta diajari. Sial, dia menghilang.

Beberapa hari ini, aku sudah mencoba mendekati dan memperhatikannya secara dekat. Bahkan kebiasaan duduk di kantinku pun berubah. Hanya untuk mencoba melihatnya lebih dekat. Sementara aku sambil berharap agar ia menyadari keberadaanku. Bahkan hatiku ini sudah lama sekali tidak tenang. Sekarangpun aku memberanikan diri untuk tersenyum padanya jika ia melihatku. Mau bagaimana lagi, aku harus membiasakan.

Tapi sepertinya dia mulai risih dengan sikapku. Wajar saja sepertinya. Hufh… aku sudah tidak tahan lagi. Biarkan hari ini dengan segala benda dan manusia di kantin ini menjadi saksi. Biarkan aku mengungkapkan. Walaupun aku tak tau seperti apa persisnya jawabannya. Sebaiknya setelah itu aku langsung pergi saja.
“Aku suka kamu”. Bagaikan petir menyambar dengan kecepatan ultra aku berhasil membuat semua kericuhan di kantin menjadi seolah tidak ada kehidupan. Dia menatapku dengan sangat kaget.

“Te-terus, mau kamu apa?” Jawabnya terbata. Aku sendiri juga bingung aku mau apa sebenarnya. Aku hanya mengungkapkan, sudah begitu saja.

“Cuma mau bilang itu aja kok”. Dan aku pergi meninggalkannya beserta penghuni kantin yang sedari tadi asyik menonton drama yang kubuat. Masih terdengar meski aku sudah berjalan jauh. Ketika tiba-tiba kantin dipenuhi lagi dengan segala keributannya. Sekilas aku juga mendengar ‘dia’ dihujani kata selamat oleh teman-teman. Aku hanya bisa tersenyum membayangkan muka polosnya menerima tindakan seperti itu.
Kasian, sih. Sementara nasibku, entahlah apa selanjutnya. Yang aku tau, aku masih sama: Aku suka padanya.

0 komentar:

Posting Komentar