Beberapa tahun belakangan
masyarakat urban pasti semakin sadar betapa hampa hidup tanpa smartphone.
Bahkan ada yang lebih rela dompet tertinggal di rumah
ketimbang smartphone. Seakan-akan hidup tanpanya seperti hidup tanpa jiwa.
Tiap hari kita tenggelam dalam lautan konten media sosial. Tiap hari, layaknya
detektif kita memantau kehidupan orang asing yang tampil
di explore Instagram atau menyaksikan deretan aktivitas mereka yang
kita ikuti. Tak jarang tertawa sendiri, memicingkan mata hingga marah-marah pun
seringkali menjadi reaksi sesudah mengkonsumsi konten-konten di dunia maya
tersebut.
Kemudian
seakan tidak mau ketinggalan kita pun mulai melakukan kurasi pada foto-foto
yang ada di galeri ponsel. Memulasnya dengan berbagai aplikasi fotografi bahkan
tak jarang memberikan berbagai macam filter sampai sosok asli tak lagi terlihat
sama. Semua demi mendapatkan tanda hati, jempol atau pesan akun media sosial
kita. Tidak lupa dengan rentetan kata-kata di bagian caption yang
belum tentu sesuai dengan gambar yang dipublikasikan. Terkadang berbentuk
puisi, terkadang sekadar barisan emoji. Banyak juga dari kita yang
berlomba-lomba menuliskan curahan hati baik kala sedih, kecewa, atau senang.
Bisa dari pengalaman tidak menyenangkan di sebuah restoran sampai kepuasan
menggunakan jasa kecantikan di sebuah salon. Seolah-olah kita tidak lagi
memikirkan privasi. Tidak masalah mengumbar jati diri ada orang lain, orang
yang bahkan tidak mengenal kita sama sekali.
Kita pun
mulai melakukan kurasi pada foto-foto yang ada di galeri. Memulasnya bahkan tak
jarang memberikan berbagai filter sampai sosok asli tak lagi terlihat sama. Semua
demi mendapatkan tanda hati, jempol atau pesan di akum media sosial kita.
Ya,
hidup di era modern memang penuh dengan jebakan yang tidak kita sadari.
Hari demi hari kita lewati dengan berjalan dalam bayangan dunia maya. Tiada
hari tanpa mengabari para followers di mana kita menghabiskan makan
siang atau apa yang sedang kita kenakan ke kantor hari ini dengan tagar #ootd
(outfit of the day). Kita bahkan rela menghabiskan uang demi kepentingan
konten. Makan di restoran mewah, memegang gelas dengan merek kopi ternama,
hingga berfoto dengan baju desainer yang harganya separuh gaji. Kita rela
kelaparan hanya untuk mengambil gambar makanan yang ada di atas meja. Tata
letak dan sisi estetisnya harus sempurna. Kalau tidak belum boleh disentuh sama
sekali.
Kita rela
kelaparan hanya untuk mengambil gambar makanan yang ada di atas meja.
Kalau boleh ditanyakan
kembali ke diri sendiri, semua itu untuk apa? Apakah kita bercita-cita untuk
menjadi seorang influencer? Atau sebenarnya kita menjajal menjadi
seorang social climber di mana kita bersusah payah untuk
memperlihatkan pada orang lain bahwa kehidupan kita lebih baik? Apa tujuan yang
sesungguhnya di balik foto-foto dan kata-kata mutiara yang kita biarkan wira-wiri
di linimasa orang banyak? Apakah kita membutuhkan validasi mereka akan
eksistensi diri? Atau benar-benar sekadar iseng dan mengisi waktu luang? Lalu
mengapa kita terlalu peduli dengan seberapa banyak orang yang menekan tombol
hati itu? Sampai-sampai setelah posting tidak berhenti kita buka
tutup aplikasi medsos. Mengapa kita bahkan tidak menghiraukan orang-orang di
sekeliling dan justru memilih memberikan komentar atau berbalas pesan dengan
mereka yang ada di dunia maya?
Apa tujuan yang sesungguhnya di
balik foto dan kata mutiara yang kita biarkan wira-wiri di linimasa? Apakah
kita membutuhkan validasi mereka akan eksistensi diri? Atau benar-benar sekadar
iseng dan mengisi waktu luang?
Jika
kita memberikan waktu sebentar untuk meresapi pertanyaan-pertanyaan tersebut
seharusnya kita mulai menyadari betapa besar efek negatif media sosial dalam
hidup kita kini. Lama-kelamaan kita menjadi orang yang aktif secara sosial di
dunia maya namun pasif di dunia nyata. Benar yang banyak dibilang orang:
dunia maya itu menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh. Kita lupa untuk
menghabiskan waktu dengan orang-orang yang tinggal serumah dan justru lebih
senang bertegur sapa dengan akun-akun yang bahkan tidak menggunakan nama asli
mereka. Kita membangun karakter “palsu” demi mendapatkan sebuah pengakuan di
dunia maya. Aslinya tidak suka menggunakan sepatu hak tinggi, demi terlihat
cantik di foto kita mau-mau saja mondar-mandir di tengah penyeberangan jalan
untuk foto kekinian. Aslinya tidak suka makanan kebaratan tapi untuk
mendapatkan label “keren” kita tidak enggan menggesek kartu kredit untuk
menikmati hidangan resto bintang lima.
Coba
tanyakan kembali apakah betul pengalaman-pengalaman tersebut kebahagiaan untuk
kita? Pengalaman mendapatkan puluhan pesan, ratusan likes, hingga
ribuan followers membuat kita merasakan kepuasan batin? Bukannya
sedikit riset yang menunjukkan betapa seseorang dapat mengalami stres berat
akibat terlalu banyak mengkonsumsi media sosial. Faktanya melihat ribuan konten
orang-orang dengan tujuan untuk mendapatkan validasi dari orang lain hanya akan
membuat kita mengembangkan rasa iri. Kemudian perasaan tersebut akan berkembang
menjadi kompetisi di mana kita selalu tidak mau kalah dengan orang lain. Tentu
saja ini tidak akan baik untuk mental kita, kan?
Melihat
ribuan konten orang-orang dengan tujuan untuk mendapatkan validasi dari orang
lain hanya akan membuat kita mengembangkan rasa iri.
Setelah
merefleksikan kembali semua aktivitas dunia maya kita seharusnya kini kita bisa
lebih bijaksana untuk menggunakan akun-akun tersebut. Mendefinisikan
kebahagiaan diri dengan hal-hal yang riil. Hal-hal positif yang berguna untuk
diri sendiri dan orang lain. Hakikatnya, detoksifikasi media sosial sangat
penting kita lakukan secara rutin. Misalnya seminggu sekali sama sekali tidak
membuka media sosial dan mengganti hari tersebut dengan mengajak orang tua
pergi makan di luar bersama. Atau jika ingin lebih aktif lagi secara sosial
jadilah sukarelawan di hari-hari detoks media sosial. Buatlah kebahagiaan yang
konkret di dunia nyata.
Definisikan
kebahagiaan diri dengan hal-hal yang riil; hal-hal positif yang berguna untuk
diri sendiri dan orang lain.
Sumber: Wealth Wisdom 2019.
0 komentar:
Posting Komentar